Rabu, 20 Januari 2016

Lelaki Jepang





“Seseorang harus dibunuh!”
Aku tidak bisa percaya pada malam yang gerimis aku datang ke kos Nila hanya untuk menyampaikan hal gila ini kepada Nila. Namun, aku tidak tahu lagi harus bicara kepada siapa lagi selain kepada Nila. Nila teman baikku sejak SMA dan persahabatan kami berlanjut setelah secara kebetulan kami diterima di universitas yang sama—meskipun beda fakultas—di  luar kota yaitu Jakarta. Aku tidak tinggal satu kos dengan Nila, tapi aku sering main ke kos Nila dan menghabiskan waktu bersama.
Di luar kepribadiannya yang impulsif dan suka bersenang-senang, Nila adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa kupercaya. Maka ketika aku datang ke kosnya dan menemukan Nila sendirian di kamarnya, tanpa ragu aku menumpahkan kegelisahanku. Mendengar ocehan gilaku, mata Nila terbelalak pada awalnya lantas bertukar menjadi gelak tawa.
“Kau sedang mabuk atau sedang teler?” tanyanya.
Percayalah padaku, aku tidak pernah sekalipun menegak minuman beralkohol, apalagi mengonsumsi narkoba. Justru aku curiga dengan Nila sendiri. Tampangnya terlihat selalu teler.
“Aku serius! Seseorang benar-benar harus dibunuh!” kemudian kami saling bicara atau lebih tepatnya aku bermonolog. Aku bicara tentang dosa-dosa yang diperbuat oleh seseorang ini dan dosa-dosanya membuatnya pantas untuk dibunuh. Selama bicara, aku tidak menyebutkan secara jelas nama seseorang ini. Aku belum yakin akan mengungkapkan identitas seseorang ini kepada Nila, terlalu banyak komplikasi, bukan berarti aku tidak percaya Nila.
Di luar kemarahanku dan kebencianku terhadap orang ini, aku mengungkapkan ketakutanku tentang kesulitan yang kuhadapi apabila aku sendiri yang melakukan pembunuhan dan aku juga ngeri membayangkan konsekuensinya: penjara atau hukuman mati. Selama aku bicara, kuperhatikan mata Nila berbinar. Ketika itulah aku mendapat jawaban yang sama gilannya dengan ideku untuk membunuh orang.
“Kalau kau begitu menginginkan orang itu mati, tapi kau tidak bisa membunuhnya dengan tanganmu sendiri, sewa saja pembunuh bayaran!”
Aku hampir saja tertawa sebelum menyadari bahwa akulah yang memulai pembicaraan gila ini. Pembunuh bayaran? Apa yang dipikirkan dua gadis muda yang hanya mengetahui seluk beluk dunia kriminal dari film-film Hollywood, yang sering menampilkan orang-orang berpikiran pendek yang menyelesaikan masalahnya dengan menyewa pembunuh bayaran. Ironisnya ketika kini aku terdesak, aku tidak bisa berpikir lebih rasional dari film-film Hollywood.
Aku menganggap kata-kata yang keluar dari mulut Nila sebagai sebuah bentuk keluguan seorang gadis, maka aku diam saja. Sementara itu Nila menatapku dengan tajam. Kupikir ini semacam permainan. Nila akan mengejutkanku dengan tiba-tiba berteriak dan aku terlonjak kaget, lantas menertawakan kenaifanku yang begitu mudah percaya bualannya. Tapi itu tidak terjadi, kukira Nila benar-benar tidak bercanda. Setelah beberapa detik menatapku Nila menghela napas. Dan itulah pertama kalinya aku mendengar nama lelaki Jepang.
“Siapa itu lelaki Jepang?” tanyaku.
Ada jeda yang sangat mengganggu dan kemudian Nila seperti membuat pengakuan dosa. Nila mengaku suka pergi minum-minum di bar dan berdansa di klab malam. Aku mencoba memasang ekspresi terkejut, meski aku sudah lama tahu. Lantas Nila mencengkram kedua lenganku dengan erat dan mengguncangkan tubuhku. Aku meringis kesakitan dan ingin berontak, tapi aku tertegun begitu melihat matanya yang menyorotkan penyesalan, lantas memohon kepadaku untuk tidak memberitahu kebiasaannya itu kepada ayah dan ibunya. Aku mengangguk saja sebab sebenarnya kini tidak ada yang lebih menarik perhatianku selain lelaki Jepang.
***
Nila pernah mendengar keberadaan lelaki Jepang dari salah seorang temannya. Kata temannya lelaki Jepang sering menghabiskan malam di Rester House. Rester House adalah sebuah bar di salah satu sudut Jakarta Pusat. Sebuah bar yang sering dikunjungi ekspatriat, beredar rumor tentang seorang pembunuh bayaran internasional asal Jepang yang sedang bersembunyi.
Mendengar itu, entah mengapa aku merasa seperti mendengar dongeng tentang ksatria melawan naga. Cerita Nila terkesan berlebihan dan tidak masuk akal dan anehnya aku tidak menganggap itu sebagai sebuah bualan. Aku yakin lelaki Jepang adalah satu-satunya penyelamatku saat ini. Aku mulai melihat cahaya lilin kecil di tengah kegelapan. Maka detik itu juga aku meminta Nila untuk membawaku ke Rester House. Namun Nila segera mengajukan keberatan.
Aku tetap bersikeras agar Nila membawaku ke Rester House. Aku tidak pernah pergi ke bar sebelumnya dan aku butuh orang yang bisa kupercaya untuk menemaniku. Nila bersikap menjengkelkan. Dia mengatakan bahwa mungkin rumor tentang lelaki Jepang hanya gosip murahan untuk menarik perhatian orang-orang datang ke Rester House. Aku heran dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Siapa tadi yang bicara begitu yakin tentang lelaki Jepang. Nila pasti punya suatu alasan untuk tidak pergi bersamaku ke Rester House. Aku meyakinkan Nila bahwa aku akan tutup mulut terhadap apa yang kulihat nanti di Rester House. Meski akhirnya Nila menurut, aku masih melihatnya cemberut.
***
Aku melihat sekeliling dengan gugup. Rester House bukan bar yang ramai, tapi berkelas, setidaknya itu yang kurasakan. Aku kini berada di ruangan yang gelap dan di tengah ruangan aku bisa melihat meja bar yang diterangi lampu berwarna jinga. Seperti oase di tengah padang pasir.
Gugup dan merasa asing sebab ini untuk pertama kalinya aku masuk bar, aku terdiam agak lama di depan pintu masuk. Nila yang sudah terlanjur berjalan duluan di depanku, kembali mendekatiku dan meraih tanganku dengan jengkel dan menyeretku ke meja bar.
Aku mendapat dua kesan yang amat kuat ketika pertama kali masuk Rester House. Pertama, performa pemain saksofon yang memainkan lagu jazz. Ada sensasi yang unik ketika mendengarkan alunan saksofon, apalagi aku jarang mendengarkan pertunjukan musik jazz secara langsung.
Kesan kedua yang kudapat dari Rester House adalah seorang bartender dengan penampilan androginy. Dia berpenampilan selayaknya seorang bartender: kemeja putih lengan panjang dengan dasi kupu-kupu dan rompi berwarna coklat tua. Rambutnya pendek berwarna hitam gelap, dengan rambut depannya jatuh menutupi dahinya. Wajahnya seperti dipoles secara asal-asalan. Eyeshadow hitam yang melingkar di sekeliling matanya dan gincu merah yang sepertinya dipoles sembarangan menghiasi bibirnya yang merekah.
 “Aku mau cowboy,” kata Nila.
Aku menoleh ke arah Nila dan memasang wajah heran.
Cowboy: Whiskey dengan lightcream,” kata Nila sambil tersenyum ke arahku. Dasar pamer. “Iya kan, Sarah?”
Ternyata bartender ini bernama Sarah.
“Dan Nona manis ini mau minum apa?” kata Sarah kepadaku.
 “Untuk temanku ini, lemon tea saja,” kata Nila.
Sarah tersenyum kepadaku, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dari senyumnya
***
Aku berharap Nila segera melakukan sesuatu, tapi yang dilakukannya hanya meminta minuman dan merokok dan minum terus menerus. Sudah setengah jam dan aku mulai merasa tidak nyaman. Aku harus melakukan sesuatu. Ketika Sarah berdiri tak jauh dariku sambil mengelap gelas, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.
“Eh, Sarah. Maaf, tidak apa-apa kan aku memanggilmu Sarah, seperti temanku tadi memanggilmu?” kataku dengan suara bergetar.
“Tidak masalah,” jawab Sarah dengan sangat ramah sambil tetap mengelap gelas.
“Tujuanku sebenarnya ke sini untuk mencari seseorang.”
“Oh, makanya Nona tidak tahu sama sekali tentang cocktail.”
Aku mengangkat bahuku dan tersenyum malu.
“Apa kamu kenal seseorang,” kataku dengan suara kecil hingga nyaris seperti bisikan, “yang dikenal sebagai lelaki Jepang. Katanya dia sering datang ke sini.”
Sarah berhenti mengelap gelas untuk beberapa detik, melihatku dengan serius dan kembali mengelap gelas.
“Banyak ekspatriat di sini. Beberapa ada juga yang dari Jepang. Di belakang sana juga ada orang Jepang. Mungkin dia yang Nona maksud.”
Aku menoleh ke arah yang Sarah maksud. Aku melihat dua orang Jepang. Mereka sudah tua dan gemuk, kukira lelaki Jepang yang kucari bukan salah satu dari mereka.
“Sepertinya bukan mereka,” aku menggelengkan kepala, lalu aku mencondongkan tubuhku mendekati Sarah dan berbisik, “lelaki Jepang yang kumaksud adalah seorang pembunuh bayaran.”
Mata Sarah terbelalak cukup lama, lalu dia cepat-cepat menenangkan diri dan tersenyum.
“Maaf Nona. Sepertinya Nona datang di tempat yang salah.”
Aku kecewa mendengar jawaban itu, tapi aku tidak bisa lama-lama di tempat ini. Nila sudah teler di sampingku dan aku ingin cepat-cepat pulang. Aku merasa belum nyaman dengan lingkungan di sini dan kepalaku pusing.
“Bisakah kau memberi nomer HPmu?” tanyaku.
“Untuk apa?”
Menghubungiku seandainya lelaki Jepang itu datang, pikirku. Namun Sarah seperti bisa membaca pikiranku.
“Maaf Nona,” katanya seraya menggelengkan kepala, “saya katakan sekali lagi tidak ada lelaki Jepang seperti yang Nona maksud di sini. Percuma saja saya berikan nomer kontak saya. Lelaki Jepang tidak pernah ada.”
Dengan rasa kecewa aku meninggalkan Rester House sambil membopong Nila yang sudah teler. Aku tahu ini ide gila dan aneh, sebuah kewajaran jika seseorang tidak menanggapi omongan ngawurku, tapi aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.
***
Malam kedua aku kembali datang. Kali ini sendiri, tanpa Nila. Aku segera duduk di meja bar. Aku melihat Sarah sedang mengocok cocktail shakernya. Ketika dia melihatku, aku ketakutan. Kemarin, meski dengan sikap ramah, mungkin Sarah menganggapku gila. Namun di luar dugaan ia menyambutku dengan sangat ramah.
“Wow, selamat datang kembali.”
Lalu dengan nada sesal ia bicara.
“Dua, oh tidak, kira-kira satu setengah jam yang lalu lelaki Jepang baru saja pergi.”
Aku terkejut. Ini untuk pertama kalinya ia menegaskan keberadaan lelaki Jepang dan aku telah melewatkan sesuatu yang sangat penting. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apakah lelaki Jepang benar-benar nyata?
 “Aku merasa bersalah. Seharusnya kemarin aku memberikan nomer kontakku kepadamu.”
“Tidak apa-apa,” aku mencoba menutupi kekecewaanku, “apakah kau tahu bagaimana aku bisa menghubunginya?”
Sarah menggeleng.
“Baginya aku hanya pelayan yang menghidangkan minuman. Tidak lebih dari itu.”
“Oh sial sekali aku.”
“Maafkan aku,” katanya dengan nada sesal, “kuberikan nomer HPku. Bila dia datang lagi aku akan menghubungimu.”
Aku tidak tahu harus bicara apa, tapi aku mengangguk dan menyimpan nomer kontaknya di ponselku.
“Tapi aku senang melihatmu,” dia menghela nafas, “kupikir kau tidak pernah akan datang ke bar ini lagi. Lemon Tea lagi malam ini?”
Lalu Sarah mulai cerita tentang lelaki Jepang. Kurang lebih tiga bulan lalu untuk pertama kalinya lelaki Jepang datang ke Rester House. Lelaki Jepang sering bicara dengan Sarah hingga menjelang bar tutup.
Tidak banyak yang diketahui Sarah tentang lelaki Jepang. Memang lelaki Jepang sering bicara, tapi lebih bicara kepada diri sendiri. Meskipun Bahasa Inggrisnya bagus, kalau sudah mulai mabuk dia bicara dengan bahasa Jepang. Pembicaraannya pun seperti fragmen-fragmen yang saling tidak berhubungan.
Lelaki Jepang kadang bicara tentang Jakarta yang merupakan tempat terakhirnya sebelum berhenti dari pekerjaannya sebagai pembunuh bayaran. Lalu melompat tentang kemiripan hidupnya dengan kehidupan Miyamoto Musashi. Lalu melompat tentang ayahnya yang bunuh diri agar mendapat klaim asuransi untuk melunasi hutangnya, meski sebenarnya uang asuransinya tidak bisa menutup seluruh hutang. Lalu melompat tentang orang-orang yang telah dibunuhnya dan wajah-wajah mereka yang muncul di setiap mimpi buruknya.
***
Pada malam kelima kunjunganku ke Rester House, seorang ekspatriat kulit putih mendekatiku. Dia bicara dengan bahasa Indonesia yang kaku.
“Hai, kamu sendiri?”
Aku terkejut dan hanya menganguk saja.
“Sudah beberapa malam aku lihat kamu. Sendiri. Kamu butuh teman….”
“Hai Ina,” kata Sarah. Dia tersenyum ke arah ekspatriat itu, “dia pacarku.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Sarah, begitu juga si ekspatriat. Kemudian si ekspatriat tersenyum dan mengangkat gelasnya dan pergi meninggalkanku.
“Pacar?” tanyaku.
“Hanya pura-pura saja, jangan anggap serius. Beberapa ekspatriat ini sedang mencari teman kencan. Aku merasa kau tidak nyaman dengan mereka. Kalau mereka mengira kita pacaran, mereka tidak akan mengganggumu. Ada juga yang mencurigaimu sebagai penyelidik swasta yang sedang menyelidiki suatu perselingkuhan. Kau tahu, banyak yang berselingkuh di sini. Semua dugaan itu akan runtuh apabila kita pura-pura pacaran.”
Aku berusaha meyakinkan diri bahwa yang dilakukan Sarah adalah untuk melindungiku. Namun semenjak itu perasaanku kepadanya menjadi agak aneh. Aku mulai sering mengamatinya dengan sudut pandang bukan sebagai sekadar teman. Tanpa disadari kami sering saling menatap berlama-lama.
***
Di malam ketujuh Sarah memberikanku sebuah kartu bergambar bulan purnama perunggu dan berisi tulisan:
 Bulan perunggu
Gelap, sunyi, sendiri
Ada harapan
“Itu kartu haiku,” kata Sarah, “aku baru ingat sudah lama menyimpannya. Dulu lelaki Jepang menggambar dan menulisnya di sini, tepat di tempatmu duduk saat ini. Lalu dia meninggalkannya begitu saja.”
“Apa ini puisi? Singkat sekali?”
“Lima tujuh lima. Baris pertama lima suku kata, baris kedua tujuh suku kata dan baris ketiga lima suku kata lagi. Kata lelaki Jepang, itu haiku pertamanya dengan bahasa Indonesia.”
Aku melihat kartu haiku itu sebagai harapan baru. Rasanya terang lilin kecil semakin kuat.
***
Sudah dua minggu aku menghabiskan malam di Rester House. Belakangan Sarah sering mengantarku pulang dengan mobilnya. Malam itu setelah berhenti di depan kosku Sarah bertanya tentang seseorang yang begitu kuinginkan mati. Seseorang yang kuinginkan lelaki Jepang untuk membunuhnya. Aku meraih ponselku, masuk ke aplikasi internet dan mengetikkan sebuah nama di mesin pencari. Begitu wajah itu muncul di layar ponselku, aku menunjukkannya ke Sarah. Sarah terkejut, lantas mengangguk mengerti.
“Dulu ayahku seorang aktivis. Pembunuhan politik. Terjadi lima tahun yang lalu dan orang ini,” aku menunjuk foto di layar ponselku, “bertanggungjawab atas kematian ayahku. Dan kau pasti tahu, orang ini sekarang mencalonkan diri sebagai presiden. Kau bisa bayangkan kemurkaan dalam diriku. Seseorang yang telah membunuh ayahku bisa saja jadi presiden.”
Aku tidak percaya membeberkan semua ini kepada Sarah. Aku tidak pernah bicarakan ini kepada siapa pun, tidak juga Nila. Namun ada sedikit kelegaan.
Tiba-tiba aku merasa begitu depresi. Kenangan dengan ayahku menyeruak kembali. Aku menangis. Sarah memegang bahuku dan sedikit meremasnya, lalu dia memegang wajahku dengan kedua tangannya dan menatap mataku lama sekali. Lalu aku tidak percaya apa yang terjadi, kami saling berciuman.
***
Malam itu terjadi bencana. Sudah satu bulan aku menghabiskan hampir setiap malam di Rester House dan aku masih belum bertemu lelaki Jepang. Aku merasa tidak nyaman dengan sandiwara kami sebagai sepasang kekasih. Aku takut kami melewati batas. Kami bahkan pernah berciuman dan itu tidak hanya sekali.
Aku mengatakan kepada Sarah bahwa sebaiknya kita berhenti berpura-pura, lagipula pacarku yang sebenarnya—tentu saja laki-laki—mulai menyadari kebiasaanku pergi di setiap malam. Dia tidak tahu soal lelaki Jepang, tapi pacarku bilang ingin menemaniku besok malam di Rester House. Sarah menghela napas. Tanpa menjawabku dia pergi ke toilet dan kembali beberapa menit kemudian dengan eyeshadow hitamnya yang pudar, dia baru saja mengangis.
“Kupikir semua ini sia-sia,” katanya dengan suara bergetar.
“Kenapa?”
“Kau tidak perlu lagi datang besok dan ide membawa pacarmu itu, lupakan saja.”
Aku terdiam.
“Seperti yang kau tahu, kita sudah sangat lama menunggu kemunculan lelaki Jepang dan hingga kini tidak ada tanda-tanda akan datang. Awalnya aku sedikit berharap dia akan kembali, tapi aku salah. Sebenarnya ada yang belum kukatakan kepadamu. Lelaki Jepang melihat misi terakhir di Jakarta sebagai jalan takdir yang membimbingnya secara misterius. Saat itulah Lelaki Jepang merasa jalan hidupnya mirip dengan Miyamoto Musashi. Dan seperti mendapatkan pencerahan, di Jakarta lelaki Jepang menemukan sosok Sasaki Kojiro—musuh utama Musashi—dalam sosok seorang polisi berbakat. Polisi ini benar-benar lawan seimbang.
“Akan kuberitahu bahwa duel Musashi dengan Ganryu merupakan duel pamungkas. Setelah berakhirnya duel di suatu pulau kecil yang terletak antara Honshu dan Kyushu—yang kini dikenal dengan pulau Ganryu—jejak Musashi menghilang. Kalau kau mengerti maksudku….”
Sarah tidak melanjutkan kalimatnya dan mulai terisak. Lantas dia menuang bir dalam satu gelas penuh dan meminumnya sampai habis, kemudian pergi meninggalkan Rester House. Aku begitu terguncang. Aku kehilangan cahaya dan kembali terperangkap dalam kegelapan. Harapan yang berupa cahaya yang hanya seterang lilin itu musnah, tidak pernah hidup kembali. Air mataku menetes.

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar