“Seseorang harus dibunuh!”
Aku tidak bisa percaya pada malam yang
gerimis aku datang ke kos Nila hanya untuk menyampaikan hal gila ini kepada Nila.
Namun, aku tidak tahu lagi harus bicara kepada siapa lagi selain kepada Nila. Nila
teman baikku sejak SMA dan persahabatan kami berlanjut setelah secara kebetulan
kami diterima di universitas yang sama—meskipun beda fakultas—di luar kota yaitu Jakarta. Aku tidak tinggal
satu kos dengan Nila, tapi aku sering main ke kos Nila dan menghabiskan waktu bersama.
Di luar kepribadiannya yang impulsif dan
suka bersenang-senang, Nila adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa
kupercaya. Maka ketika aku datang ke kosnya dan menemukan Nila sendirian di
kamarnya, tanpa ragu aku menumpahkan kegelisahanku. Mendengar ocehan gilaku, mata
Nila terbelalak pada awalnya lantas bertukar menjadi gelak tawa.
“Kau sedang mabuk atau sedang teler?”
tanyanya.
Percayalah padaku, aku tidak pernah
sekalipun menegak minuman beralkohol, apalagi mengonsumsi narkoba. Justru aku
curiga dengan Nila sendiri. Tampangnya terlihat selalu teler.
“Aku serius! Seseorang benar-benar harus
dibunuh!” kemudian kami saling bicara atau lebih tepatnya aku bermonolog. Aku
bicara tentang dosa-dosa yang diperbuat oleh seseorang ini dan dosa-dosanya
membuatnya pantas untuk dibunuh. Selama bicara, aku tidak menyebutkan secara jelas
nama seseorang ini. Aku belum yakin akan mengungkapkan identitas seseorang ini
kepada Nila, terlalu banyak komplikasi, bukan berarti aku tidak percaya Nila.
Di luar kemarahanku dan kebencianku
terhadap orang ini, aku mengungkapkan ketakutanku tentang kesulitan yang
kuhadapi apabila aku sendiri yang melakukan pembunuhan dan aku juga ngeri
membayangkan konsekuensinya: penjara atau hukuman mati. Selama aku bicara, kuperhatikan
mata Nila berbinar. Ketika itulah aku mendapat jawaban yang sama gilannya dengan
ideku untuk membunuh orang.
“Kalau kau begitu menginginkan orang itu
mati, tapi kau tidak bisa membunuhnya dengan tanganmu sendiri, sewa saja
pembunuh bayaran!”
Aku hampir saja tertawa sebelum
menyadari bahwa akulah yang memulai pembicaraan gila ini. Pembunuh bayaran? Apa
yang dipikirkan dua gadis muda yang hanya mengetahui seluk beluk dunia kriminal
dari film-film Hollywood, yang sering
menampilkan orang-orang berpikiran pendek yang menyelesaikan masalahnya dengan menyewa
pembunuh bayaran. Ironisnya ketika kini aku terdesak, aku tidak bisa berpikir
lebih rasional dari film-film Hollywood.
Aku menganggap kata-kata yang keluar
dari mulut Nila sebagai sebuah bentuk keluguan seorang gadis, maka aku diam
saja. Sementara itu Nila menatapku dengan tajam. Kupikir ini semacam permainan.
Nila akan mengejutkanku dengan tiba-tiba berteriak dan aku terlonjak kaget,
lantas menertawakan kenaifanku yang begitu mudah percaya bualannya. Tapi itu
tidak terjadi, kukira Nila benar-benar tidak bercanda. Setelah beberapa detik
menatapku Nila menghela napas. Dan itulah pertama kalinya aku mendengar nama
lelaki Jepang.
“Siapa itu lelaki Jepang?” tanyaku.
Ada jeda yang sangat mengganggu dan kemudian
Nila seperti membuat pengakuan dosa. Nila mengaku suka pergi minum-minum di bar
dan berdansa di klab malam. Aku mencoba memasang ekspresi terkejut, meski aku
sudah lama tahu. Lantas Nila mencengkram kedua lenganku dengan erat dan
mengguncangkan tubuhku. Aku meringis kesakitan dan ingin berontak, tapi aku
tertegun begitu melihat matanya yang menyorotkan penyesalan, lantas memohon
kepadaku untuk tidak memberitahu kebiasaannya itu kepada ayah dan ibunya. Aku
mengangguk saja sebab sebenarnya kini tidak ada yang lebih menarik perhatianku
selain lelaki Jepang.
***
Nila pernah mendengar keberadaan lelaki
Jepang dari salah seorang temannya. Kata temannya lelaki Jepang sering
menghabiskan malam di Rester House. Rester House adalah sebuah bar di salah
satu sudut Jakarta Pusat. Sebuah bar yang sering dikunjungi ekspatriat, beredar
rumor tentang seorang pembunuh bayaran internasional asal Jepang yang sedang
bersembunyi.
Mendengar itu, entah mengapa aku merasa seperti
mendengar dongeng tentang ksatria melawan naga. Cerita Nila terkesan berlebihan
dan tidak masuk akal dan anehnya aku tidak menganggap itu sebagai sebuah
bualan. Aku yakin lelaki Jepang adalah satu-satunya penyelamatku saat ini. Aku
mulai melihat cahaya lilin kecil di tengah kegelapan. Maka detik itu juga aku
meminta Nila untuk membawaku ke Rester House. Namun Nila segera mengajukan
keberatan.
Aku tetap bersikeras agar Nila membawaku
ke Rester House. Aku tidak pernah pergi ke bar sebelumnya dan aku butuh orang
yang bisa kupercaya untuk menemaniku. Nila bersikap menjengkelkan. Dia
mengatakan bahwa mungkin rumor tentang lelaki Jepang hanya gosip murahan untuk
menarik perhatian orang-orang datang ke Rester House. Aku heran dengan
perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Siapa tadi yang bicara begitu yakin tentang
lelaki Jepang. Nila pasti punya suatu alasan untuk tidak pergi bersamaku ke
Rester House. Aku meyakinkan Nila bahwa aku akan tutup mulut terhadap apa yang kulihat
nanti di Rester House. Meski akhirnya Nila menurut, aku masih melihatnya
cemberut.
***
Aku melihat sekeliling dengan gugup.
Rester House bukan bar yang ramai, tapi berkelas, setidaknya itu yang
kurasakan. Aku kini berada di ruangan yang gelap dan di tengah ruangan aku bisa
melihat meja bar yang diterangi lampu berwarna jinga. Seperti oase di tengah
padang pasir.
Gugup dan merasa asing sebab ini untuk
pertama kalinya aku masuk bar, aku terdiam agak lama di depan pintu masuk. Nila
yang sudah terlanjur berjalan duluan di depanku, kembali mendekatiku dan meraih
tanganku dengan jengkel dan menyeretku ke meja bar.
Aku mendapat dua kesan yang amat kuat
ketika pertama kali masuk Rester House. Pertama, performa pemain saksofon yang
memainkan lagu jazz. Ada sensasi yang
unik ketika mendengarkan alunan saksofon, apalagi aku jarang mendengarkan pertunjukan
musik jazz secara langsung.
Kesan kedua yang kudapat dari Rester
House adalah seorang bartender dengan
penampilan androginy. Dia
berpenampilan selayaknya seorang bartender:
kemeja putih lengan panjang dengan dasi kupu-kupu dan rompi berwarna coklat
tua. Rambutnya pendek berwarna hitam gelap, dengan rambut depannya jatuh
menutupi dahinya. Wajahnya seperti dipoles secara asal-asalan. Eyeshadow hitam yang melingkar di
sekeliling matanya dan gincu merah yang sepertinya dipoles sembarangan
menghiasi bibirnya yang merekah.
“Aku
mau cowboy,” kata Nila.
Aku menoleh ke arah Nila dan memasang
wajah heran.
“Cowboy:
Whiskey dengan lightcream,” kata Nila
sambil tersenyum ke arahku. Dasar pamer. “Iya kan, Sarah?”
Ternyata bartender ini bernama Sarah.
“Dan Nona manis ini mau minum apa?” kata
Sarah kepadaku.
“Untuk
temanku ini, lemon tea saja,” kata Nila.
Sarah tersenyum kepadaku, entah mengapa aku
merasa ada yang aneh dari senyumnya
***
Aku berharap Nila segera melakukan
sesuatu, tapi yang dilakukannya hanya meminta minuman dan merokok dan minum
terus menerus. Sudah setengah jam dan aku mulai merasa tidak nyaman. Aku harus
melakukan sesuatu. Ketika Sarah berdiri tak jauh dariku sambil mengelap gelas,
aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.
“Eh, Sarah. Maaf, tidak apa-apa kan aku
memanggilmu Sarah, seperti temanku tadi memanggilmu?” kataku dengan suara
bergetar.
“Tidak masalah,” jawab Sarah dengan
sangat ramah sambil tetap mengelap gelas.
“Tujuanku sebenarnya ke sini untuk mencari
seseorang.”
“Oh, makanya Nona tidak tahu sama sekali
tentang cocktail.”
Aku mengangkat bahuku dan tersenyum
malu.
“Apa kamu kenal seseorang,” kataku
dengan suara kecil hingga nyaris seperti bisikan, “yang dikenal sebagai lelaki
Jepang. Katanya dia sering datang ke sini.”
Sarah berhenti mengelap gelas untuk
beberapa detik, melihatku dengan serius dan kembali mengelap gelas.
“Banyak ekspatriat di sini. Beberapa ada
juga yang dari Jepang. Di belakang sana juga ada orang Jepang. Mungkin dia yang
Nona maksud.”
Aku menoleh ke arah yang Sarah maksud.
Aku melihat dua orang Jepang. Mereka sudah tua dan gemuk, kukira lelaki Jepang yang
kucari bukan salah satu dari mereka.
“Sepertinya bukan mereka,” aku
menggelengkan kepala, lalu aku mencondongkan tubuhku mendekati Sarah dan
berbisik, “lelaki Jepang yang kumaksud adalah seorang pembunuh bayaran.”
Mata Sarah terbelalak cukup lama, lalu
dia cepat-cepat menenangkan diri dan tersenyum.
“Maaf Nona. Sepertinya Nona datang di
tempat yang salah.”
Aku kecewa mendengar jawaban itu, tapi
aku tidak bisa lama-lama di tempat ini. Nila sudah teler di sampingku dan aku ingin
cepat-cepat pulang. Aku merasa belum nyaman dengan lingkungan di sini dan
kepalaku pusing.
“Bisakah kau memberi nomer HPmu?” tanyaku.
“Untuk apa?”
Menghubungiku seandainya lelaki Jepang
itu datang, pikirku. Namun Sarah seperti bisa membaca pikiranku.
“Maaf Nona,” katanya seraya
menggelengkan kepala, “saya katakan sekali lagi tidak ada lelaki Jepang seperti
yang Nona maksud di sini. Percuma saja saya berikan nomer kontak saya. Lelaki
Jepang tidak pernah ada.”
Dengan rasa kecewa aku meninggalkan
Rester House sambil membopong Nila yang sudah teler. Aku tahu ini ide gila dan
aneh, sebuah kewajaran jika seseorang tidak menanggapi omongan ngawurku, tapi
aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Sarah.
***
Malam kedua aku kembali datang. Kali ini
sendiri, tanpa Nila. Aku segera duduk di meja bar. Aku melihat Sarah sedang
mengocok cocktail shakernya. Ketika
dia melihatku, aku ketakutan. Kemarin, meski dengan sikap ramah, mungkin Sarah menganggapku
gila. Namun di luar dugaan ia menyambutku dengan sangat ramah.
“Wow, selamat datang kembali.”
Lalu dengan nada sesal ia bicara.
“Dua, oh tidak, kira-kira satu setengah jam
yang lalu lelaki Jepang baru saja pergi.”
Aku terkejut. Ini untuk pertama kalinya
ia menegaskan keberadaan lelaki Jepang dan aku telah melewatkan sesuatu yang
sangat penting. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Apakah lelaki Jepang
benar-benar nyata?
“Aku
merasa bersalah. Seharusnya kemarin aku memberikan nomer kontakku kepadamu.”
“Tidak apa-apa,” aku mencoba menutupi
kekecewaanku, “apakah kau tahu bagaimana aku bisa menghubunginya?”
Sarah menggeleng.
“Baginya aku hanya pelayan yang
menghidangkan minuman. Tidak lebih dari itu.”
“Oh sial sekali aku.”
“Maafkan aku,” katanya dengan nada
sesal, “kuberikan nomer HPku. Bila
dia datang lagi aku akan menghubungimu.”
Aku tidak tahu harus bicara apa, tapi
aku mengangguk dan menyimpan nomer kontaknya di ponselku.
“Tapi aku senang melihatmu,” dia
menghela nafas, “kupikir kau tidak pernah akan datang ke bar ini lagi. Lemon Tea lagi malam ini?”
Lalu Sarah mulai cerita tentang lelaki
Jepang. Kurang lebih tiga bulan lalu untuk pertama kalinya lelaki Jepang datang
ke Rester House. Lelaki Jepang sering bicara dengan Sarah hingga menjelang bar
tutup.
Tidak banyak yang diketahui Sarah
tentang lelaki Jepang. Memang lelaki Jepang sering bicara, tapi lebih bicara
kepada diri sendiri. Meskipun Bahasa Inggrisnya bagus, kalau sudah mulai mabuk
dia bicara dengan bahasa Jepang. Pembicaraannya pun seperti fragmen-fragmen
yang saling tidak berhubungan.
Lelaki Jepang kadang bicara tentang
Jakarta yang merupakan tempat terakhirnya sebelum berhenti dari pekerjaannya
sebagai pembunuh bayaran. Lalu melompat tentang kemiripan hidupnya dengan
kehidupan Miyamoto Musashi. Lalu melompat tentang ayahnya yang bunuh diri agar
mendapat klaim asuransi untuk melunasi hutangnya, meski sebenarnya uang
asuransinya tidak bisa menutup seluruh hutang. Lalu melompat tentang orang-orang
yang telah dibunuhnya dan wajah-wajah mereka yang muncul di setiap mimpi
buruknya.
***
Pada malam kelima kunjunganku ke Rester
House, seorang ekspatriat kulit putih mendekatiku. Dia bicara dengan bahasa
Indonesia yang kaku.
“Hai, kamu sendiri?”
Aku terkejut dan hanya menganguk saja.
“Sudah beberapa malam aku lihat kamu. Sendiri.
Kamu butuh teman….”
“Hai Ina,” kata Sarah. Dia tersenyum ke
arah ekspatriat itu, “dia pacarku.”
Aku terkejut mendengar kata-kata Sarah,
begitu juga si ekspatriat. Kemudian si ekspatriat tersenyum dan mengangkat
gelasnya dan pergi meninggalkanku.
“Pacar?” tanyaku.
“Hanya pura-pura saja, jangan anggap
serius. Beberapa ekspatriat ini sedang mencari teman kencan. Aku merasa kau
tidak nyaman dengan mereka. Kalau mereka mengira kita pacaran, mereka tidak
akan mengganggumu. Ada juga yang mencurigaimu sebagai penyelidik swasta yang
sedang menyelidiki suatu perselingkuhan. Kau tahu, banyak yang berselingkuh di
sini. Semua dugaan itu akan runtuh apabila kita pura-pura pacaran.”
Aku berusaha meyakinkan diri bahwa yang
dilakukan Sarah adalah untuk melindungiku. Namun semenjak itu perasaanku
kepadanya menjadi agak aneh. Aku mulai sering mengamatinya dengan sudut pandang
bukan sebagai sekadar teman. Tanpa disadari kami sering saling menatap
berlama-lama.
***
Di malam ketujuh Sarah memberikanku
sebuah kartu bergambar bulan purnama perunggu dan berisi tulisan:
Bulan perunggu
Gelap,
sunyi, sendiri
Ada
harapan
“Itu kartu haiku,” kata Sarah, “aku baru ingat sudah lama menyimpannya. Dulu
lelaki Jepang menggambar dan menulisnya di sini, tepat di tempatmu duduk saat
ini. Lalu dia meninggalkannya begitu saja.”
“Apa ini puisi? Singkat sekali?”
“Lima tujuh lima. Baris pertama lima
suku kata, baris kedua tujuh suku kata dan baris ketiga lima suku kata lagi.
Kata lelaki Jepang, itu haiku
pertamanya dengan bahasa Indonesia.”
Aku melihat kartu haiku itu sebagai harapan baru. Rasanya terang lilin kecil semakin
kuat.
***
Sudah dua minggu aku menghabiskan malam
di Rester House. Belakangan Sarah sering mengantarku pulang dengan mobilnya.
Malam itu setelah berhenti di depan kosku Sarah bertanya tentang seseorang yang
begitu kuinginkan mati. Seseorang yang kuinginkan lelaki Jepang untuk
membunuhnya. Aku meraih ponselku, masuk ke aplikasi internet dan mengetikkan sebuah
nama di mesin pencari. Begitu wajah itu muncul di layar ponselku, aku
menunjukkannya ke Sarah. Sarah terkejut, lantas mengangguk mengerti.
“Dulu ayahku seorang aktivis. Pembunuhan
politik. Terjadi lima tahun yang lalu dan orang ini,” aku menunjuk foto di
layar ponselku, “bertanggungjawab atas kematian ayahku. Dan kau pasti tahu,
orang ini sekarang mencalonkan diri sebagai presiden. Kau bisa bayangkan
kemurkaan dalam diriku. Seseorang yang telah membunuh ayahku bisa saja jadi
presiden.”
Aku tidak percaya membeberkan semua ini
kepada Sarah. Aku tidak pernah bicarakan ini kepada siapa pun, tidak juga Nila.
Namun ada sedikit kelegaan.
Tiba-tiba aku merasa begitu depresi. Kenangan
dengan ayahku menyeruak kembali. Aku menangis. Sarah memegang bahuku dan
sedikit meremasnya, lalu dia memegang wajahku dengan kedua tangannya dan
menatap mataku lama sekali. Lalu aku tidak percaya apa yang terjadi, kami
saling berciuman.
***
Malam itu terjadi bencana. Sudah satu
bulan aku menghabiskan hampir setiap malam di Rester House dan aku masih belum
bertemu lelaki Jepang. Aku merasa tidak nyaman dengan sandiwara kami sebagai
sepasang kekasih. Aku takut kami melewati batas. Kami bahkan pernah berciuman
dan itu tidak hanya sekali.
Aku mengatakan kepada Sarah bahwa
sebaiknya kita berhenti berpura-pura, lagipula pacarku yang sebenarnya—tentu
saja laki-laki—mulai menyadari kebiasaanku pergi di setiap malam. Dia tidak
tahu soal lelaki Jepang, tapi pacarku bilang ingin menemaniku besok malam di
Rester House. Sarah menghela napas. Tanpa menjawabku dia pergi ke toilet dan
kembali beberapa menit kemudian dengan eyeshadow
hitamnya yang pudar, dia baru saja mengangis.
“Kupikir semua ini sia-sia,” katanya
dengan suara bergetar.
“Kenapa?”
“Kau tidak perlu lagi datang besok dan
ide membawa pacarmu itu, lupakan saja.”
Aku terdiam.
“Seperti yang kau tahu, kita sudah
sangat lama menunggu kemunculan lelaki Jepang dan hingga kini tidak ada
tanda-tanda akan datang. Awalnya aku sedikit berharap dia akan kembali, tapi
aku salah. Sebenarnya ada yang belum kukatakan kepadamu. Lelaki Jepang melihat
misi terakhir di Jakarta sebagai jalan takdir yang membimbingnya secara
misterius. Saat itulah Lelaki Jepang merasa jalan hidupnya mirip dengan
Miyamoto Musashi. Dan seperti mendapatkan pencerahan, di Jakarta lelaki Jepang
menemukan sosok Sasaki Kojiro—musuh utama Musashi—dalam sosok seorang polisi
berbakat. Polisi ini benar-benar lawan seimbang.
“Akan kuberitahu bahwa duel Musashi
dengan Ganryu merupakan duel pamungkas. Setelah berakhirnya duel di suatu pulau
kecil yang terletak antara Honshu dan Kyushu—yang kini dikenal dengan pulau
Ganryu—jejak Musashi menghilang. Kalau kau mengerti maksudku….”
Sarah tidak melanjutkan kalimatnya dan mulai terisak.
Lantas dia menuang bir dalam satu gelas penuh dan meminumnya sampai habis, kemudian
pergi meninggalkan Rester House. Aku begitu terguncang. Aku kehilangan cahaya
dan kembali terperangkap dalam kegelapan. Harapan yang berupa cahaya yang hanya
seterang lilin itu musnah, tidak pernah hidup kembali. Air mataku menetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar